HFANEWS.COM – Iran baru-baru ini melancarkan serangan ke Israel sebagai respons atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah, awal bulan ini.
Serangan Iran ke Israel untuk pertama kalinya itu menandai babak baru dalam perselisihan antara kedua negara yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan terus meningkat sejak Israel menyatakan perang terhadap Hamas pada Oktober 2023 lalu.
Ekonom dan Guru Besar FEB UI Mari Elka Pangestu menyebutkan, atas konflik tersebut dampak ekonominya antara lain adalah harga minyak akan meningkat jika terjadi eskalasi.
“Harga minyak sudah mengalami kenaikan. Namun, dengan adanya serangan balik, harga minyak akan lanjut naik, yang berpengaruh pada inflasi akan meningkat. Ada pula perkiraan dalam konteks harga minyak, di mana Biden diperkirakan juga akan mengenakan sanksi terhadap minyak dari Iran,” ujar Mari Elka dalam webinar Eisenhower Fellowships Indonesia x IDN Times, Senin (15/4/2024).
Baca Juga: Tak Melanggar Piagam PBB, Iran Luncurkan Serangan Balasan Ke Israel
Dalam menilai ketegangan tersebut, Ekonom dan Guru Besar FEB UI Mari Elka Pangestu menyebutkan bahwa serangan tersebut juga bisa berpengaruh pada ekonomi Indonesia, meskipun belum jelas seperti apa langkah-langkah kedua negara tersebut selanjutnya.
“Perkiraannya eskalasinya kemungkinan rendah, karena tidak ada yang mau terjadi eskalasi yang akan merugikan, termasuk ke Amerika, karena akan ada banyak sumber daya yang harus dikeluarkan, terlebih tahun ini juga tahun pemilihan umum di AS,” ungkapnya.
Saat ini, diketahui produksi minyak di Iran 3 juta barel per hari, dan ekspor 1 juta barel per hari. Jika terjadi sanksi, akan ada supply shock di samping pengurangan produksi dari OPEC, dan di sisi lain permintaan juga sedang mengalami peningkatan.
“Inflasi yang naik akan menghambat pemulihan ekonomi AS, suku bunga susah turun, dolar AS akan menguat dan harga emas akan naik,” jelasnya.
Lantas seperti apa pengaruhnya untuk ekonomi Indonesia? “Saya lihat ada laporan, per 12 April harga emas naik 16%, harga minyak, US Treasury Bond 10 year juga sudah naik dan dolar AS terus menguat. Kemudian untuk Indonesia, rantai pasok impor melalui Suez Canal akan mengalami gangguan akan mengganggu impor kita seperti minyak, gandum, dan lainnya,” jelasnya.
Mari menyebutkan, gejolak harga minyak, inflasi, dan harga komoditas yang lain akan mempengaruhi Indonesia, dan rupiah yang sudah melemah hingga bisa melemah lebih jauh lagi, bond yield turun, dan IHSG juga bisa ikut turun.
“Ini akan menyebabkan masalah anggaran dan fiskal, defisit anggaran karena kalau harga minyak naik, subsidi BBM akan naik kecuali harga BBM mau dinaikkan, ini jadi tantangan untuk pemerintah yang baru,” imbuhnya.
Senada, Dirjen Migas Tutuka Ariadji menyebutkan bahwa saat ini masih wait and see, di mana dampak jangka panjangnya masih perlu menunggu respons Israel, respons investor, produsen dan konsumen.
“Untuk kenaikan harga minyak ke depan akan mengandung risiko geopolitik dan anggota OPEC saya kira akan meredam kenaikan harga ke depan untuk menyeimbangkan harga,” katanya.
Pasalnya, di indonesia, untuk setiap kenaikan harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) US$1 per barel akan berdampak pada kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp1,8 triliun.
Namun, kenaikan subsidi juga sama sekitar 1,8 triliun, dan kompensasi energi mencapai Rp5,3 triliun. Kemudian untuk kenaikan kurs, tiap Rp100 per dolar AS akan berdampak pada PNBP kenaikan Rp1,8 triliun. Namun, akan ada kenaikan subsidi energi sekitar Rp1,2 triliun dan kompensasi Rp3,9 triliun.
Mengenai subsidi dan kompensasi BBM, solar dan LPG, jika ICP diperkirakan naik sampai US$100 per barel, maka subsidi dan kompensasi BBM naik menjadi Rp200 triliun—250 triliun dari sekarang, dengan asumsi APBN sekitar Rp161 triliun.
Kemudian, subsidi LPG juga bisa naik menjadi Rp106 triliun dari asumsi sekarang APBN Rp83,2 triliun. “Tentunya totalnya akan sangat besar kalau kita totalkan. Bisa sampai Rp213 triliun total subsidi kompensasi BBM dan LPG,” jelasnya. (HFAN/Arum)