HFANEWS.COM – Salah satu bukti ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja terlihat dari industri keuangan. Tekanan daya beli membuat perusahaan finansial dibayangi oleh kredit dan pembiayaan bermasalah atau non-performing loan/financing (NPL/NPF) yang merangkak naik.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menilai kenaikan itu terjadi karena daya beli masyarakat tertekan harga kebutuhan pokok yang melonjak sejak akhir 2023. Selain itu, ia mengatakan perusahaan pembiayaan juga tengah berhadapan dengan kondisi sulit mencari debitur berkualitas baik. Suwandi menjelaskan saat ini kredit bermasalah telah menjadi isu bagi seluruh industri keuangan. Memang benar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa rasio NPL perbankan juga naik.
Adapun NPL gross perbankan sebesar 2,33% per April 2024 naik dari sebulan sebelumnya 2,25%, dan NPL nett naik jadi sebesar 0,81% dari sebelumnya 0,77%.Secara spesifik, satu segmen yang mengalami kenaikan NPL adalah kredit konsumsi. Meski masih di bawah 2%, NPL kredit konsumsi per Maret 2024 naik 30 basis poin (bps) menjadi 1,8%.Nilai NPL kredit konsumsi per Maret 2024 naik 27,7% secara tahunan (yoy), sedangkan kredit konsumsi tumbuh di bawahnya atau 10,5% yoy.Sejumlah bank besar RI pun mengakui adanya perburukan pada kualitas kredit konsumtif mereka.
Baca Juga : Buka Rute Baru, AirAsia Perkuat Pariwisata Indonesia Dimata Dunia
Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Handayani mengaku NPL konsumer di bank pelat merah itu merangkak naik. Namun, ia meyakini potensi segmen konsumer di BRI masih besar.”NPL pinjaman konsumer BRI masih terkendali dengan baik meskipun sedikit meningkat. Potensi pinjaman konsumer masih besar meskipun melambat,” kata Handayani.
Senada, Bank CIMB Niaga juga menyampaikan ada peningkatan NPL kredit konsumer per April 2024. Akan tetapi menurut Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan peningkatan NPL secara tahunan itu tidak signifikan. Secara keseluruhan, ia memaparkan aset kualitas kredit ritel sehat dengan NPL gross berada di level 2%. “Ada kenaikan secara yoy sedikit, tidak signifikan, untuk kredit konsumsi sekitar 12 bps di April, terutama karena banyaknya hari libur yang menyebabkan efektivitas penagihan terhambat,” ujar Lani. ia menyebut, aktivitas penagihan pinjaman juga terpengaruh oleh regulasi baru yang lebih membatasi.
Lani meyakini kualitas kredit konsumer di bank swasta terbesar RI kedua itu akan membaik dalam beberapa bulan ke depan. Ia mengatakan pihaknya tetap fokus menggarap kredit konsumer dan UKM.”Kami konsisten untuk berfokus di kredit konsumer dan UKM. Secara overall asset quality di ritel bagus walaupun ada kenaikan marginal yang disebabkan oleh beberapa faktor yang kami rasa bisa dihadapi,” pungkasnya.
Di bank swasta terbesar RI, Bank Central Asia (BCA) kualitas kredit segmen konsumtif masih terjaga, Direktur BCA Haryanto T. Budiman secara spesifik menyebut NPL kredit pemilikan rumah (KPR) di BCA tidak mengalami perburukan. EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menjelaskan lebih lanjut bahwa total NPL BCA secara keseluruhan terjaga di level 1,9% per Maret 2024.Sementara itu, rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance merangkak naik pada tahun ini. Hal ini diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2024 rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF naik 38 bps.Begitu pula dengan NPF net per April 2024 yang naik 20 bps menjadi 0,89% dan naik 25 bps dibandingkan dengan Desember 2023.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro OJK Ahmad Nasrullah mengatakan bahwa biaya hidup masyarakat Indonesia yang semakin mahal menjadi satu alasan NPF membengkak.”Saat ini kemampuan debitur berkurang karena peningkatan biaya hidup. Jadi untuk bayar cicilan mereka tidak kuat,” ungkap Ahmad. (hfan/dvd)