HFANEWS.COM – Polemik penetapan tersangka kepala Basarnas cukup alot, setelah Kepala Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) melayangkan protes terhadap penetapan tersangka perwira TNI aktif, yaitu Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal melakukan evaluasi terhadap prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil di beberapa instansi pemerintahan.
Hal tersebut dilakukan Presiden Jokowi untuk menyikapi perihal polemik penetapan tersangka Kepala Basarnas Henri Alfiandi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa.
“Semuanya akan dievaluasi. Tidak hanya masalah itu (Kabasarnas), semuanya karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi,” kata Jokowi usai meresmikan Sodetan Ciliwung, Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).
Menurut Jokowi, polemik penetapan tersangka Kabasarnas merupakan masalah koordinasi antara KPK dengan TNI.
“Ya itu masalah, menurut saya masalah koordinasi ya,” kata Jokowi usai meresmikan Sodetan Ciliwung, Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).
Kepala Negara mengatakan bahwa permasalahan koordinasi tersebut harus dilakukan semua instansi termasuk Basarnas, KPK dan juga TNI.
“Masalah koordinasi yang harus dilakukan semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut aturan. udah. kalau itu dilakukan, rampung,” kata Jokowi.
Dugaan korupsi di Basarnas melibatkan banyak pihak. Selain dua perwira TNI aktif, ada juga pihak swasta, bahkan bisa saja mengarah pada tindak pidana korporasi, karena melibatkan perusahaan swasta yang menjadi pemenang tender pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
Terlepas dari bukti materiil mengenai tindak pidana korupsi, pada prinsipnya yang menjadi persoalan adalah hukum formil dan yurisdiksi kewenangan pengadilan. Polemik ini muncul karena Puspom TNI menilai KPK menyalahi UU setelah menetapkan tersangka dua anggota TNI aktif. Seharusnya, menurut TNI, keduanya diadili di peradilan militer.
Ketua KPK Firli Bahuri mengaku bahwa dalam penanganan kasus di Basarnas, pihaknya telah melibatkan Puspom TNI dan sudah dilakukan sesuai prosedur. Namun Puspom TNI membantah klaim tersebut, bahwa mereka tidak dilibatkan. Silang pendapat ini tentu akan membingungkan publik.
Di satu sisi KPK memiliki kewenangan khusus (lex spesialis) untuk memberantas korupsi, tapi di sisi lain korupsi tersebut melibatkan ruang lingkup peradilan militer, bukan peradilan umum. Dalam problem tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan solusi. Dalam Pasal 89 KUHAP diatur mengenai peradilan koneksitas.
Baca Juga : https://hfanews.com/disokong-sebagian-indeks-sektoral-ihsg-menghuat-028-ke-6-919481/
Peradilan koneksitas adalah peradilan untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer.
Peradilan koneksitas dapat dibentuk dalam perkara yang melibatkan Anggota TNI Aktif dengan pihak sipil seperti kasus dugaan korupsi di Basarnas. Untuk itu, tim penyidik dari Puspom TNI dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi harus terlibat dalam penanganan tindak pidana tersebut.
Tim gabungan dari KPK, Puspom TNI dan Oditur Militer harus dibentuk apabila kasus ini ingin menggunakan peradilan koneksitas dengan keputusan bersama menteri hukum dan HAM serta menteri pertahanan.(HFAN/Arum)