HFANEWS.COM – Ibu yang melahirkan dan membesarkan anak, sejatinya tidak boleh dijaukan darinya meski telah terjadi perceraian.
Hal itu dialami Dina Amelia, SP (42) di Tasik Malaya, Jawa Barat. Dina menuturkan bahwa sebelum cerai sama suaminya bernama Roni sering diperlakukan secara kasar dan tidak mencerminan seorang suami sebagai pelindung dan bertanggung jawab terhadap keluarga.
“Sejatinya sebagai seorang kepala rumah tangga dapat melindungi dan bertanggung jawab terhadap keluarga, terlebih terhadap istri yang merupakan ibu dari anak-anak,” ujar Dina dalam keterangannya, dikutip, Minggu (13/8/2023).
Dina menutur bahwa dirinya kerap mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh suaminya. Menurut Dina, suaminya itu sering mengkonsumsi minuman keras dan bersikap Temperamen kepada dirinya.
“Suami saya yang temperamen dan KDRT itu telah merampas hak asuh anak dari saya yaitu anak pertama. Untuk itu saya melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Tasik Malaya melalui online,” tutur Dina.
Namun ia merasa aneh ketika mendapat jawaban dari KPAID Tasik dengan nada miring. Laporan tersebut, kata Dina, diduga ditangani oleh oknum yang tidak bertanggung jawab atas hak asuh anak kandungnya yang pertama.
“Penilaian selama tiga bulan itu tidak dilakukan secara langsung dan pihak KPID Tasik itu tidak mengenal saya sehingga mengabaikan laporan saya. Padahal suami saya itu track record KDRT terhadap saya, temperamen kepada saya, pernah mengkonsumsi minuman keras, pelaku merampas hak saya sebagai ibu dan anak pertama saya dengan memisahkan dengan paksa anak saya dengan saya sebagai ibunya selama dua tahun. Dan anak saya mendapat perlakuan kasar (sering di marahi) yang berefek psikologis yg dialami anak pertama saya,” ungkap Dina.
Sekadar untuk diketahui, Hak asuh anak atau hadhanah dalam ajaran Islam, dapat dipahami sebagai upaya anak belum mampu membedakan dan memilih dengan tepat, mana hal baik dan buruk dalam hidupnya. Pada usia tersebut, anak butuh orang dewasa untuk mengasuhnya. merawat, mengasuh, dan memelihara anak yang umurnya kurang dari 12 tahun.
Ayah maupun ibu memiliki hak asuh atas anaknya, meskipun sudah bercerai. Dengan kata lain, kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anaknya.
Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 41, bisa disimpulkan bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anaknya. Jika kedua orang tua tak melayangkan gugatan terkait hak asuh atas anaknya saat bercerai, maka permasalahan hak asuh pun tak perlu diselesaikan di pengadilan. Aturan terkait pemegang hak asuh anak dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 105 KHI, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merupakan hak ibunya. Saat anak tersebut berusia 12 tahun, maka sang anak akan memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan, “Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.” (HFAN/AR)