HFANEWS.COM – Secara umum, perubahan iklim disebut sebagai fenomena pemanasan global, dimana terjadi peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer dan berlangsung untuk jangka waktu tertentu. Penyebab perubahan iklim dan pemanasan global terdiri dari berbagai faktor yang berbeda serta menimbulkan dampak bagi kehidupan manusia.
Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengungkap bahwa perubahan iklim dan kekeringan dapat mengancam anak-anak di Indonesia.
Hal ini diungkap ketika Kemenko PMK menyelenggarakan seminar nasional yang bertajuk “Membangun Resiliensi Anak Terkait Perubahan Iklim Menuju Indonesia Emas 2045” di kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Kamis (25/4/2024).
Baca Juga: Pasca Penetapan Presiden dan Wakil Presiden, Harga Pangan Melonjak
Bekerja sama dengan organisasi Save The Children, Kemenko PMK ingin menyadarkan masyarakat bahwa dampak perubahan iklim sangat besar kepada anak-anak. Jadi perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada sisi lingkungan hidup, ekonomi, dan infrastruktur saja.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti mengatakan, seluruh pihak perlu memperhatikan ketahanan resiliensi anak-anak Indonesia di berbagai daerah.
“Tujuan dari kegiatan ini kita ingin membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya membangun ketahanan resiliensi dari anak-anak kita, terutama dengan terjadinya perubahan iklim,” ujar Woro.
Lebih lanjut bahwa selain perubahan iklim, masalah kekeringan panjang juga berdampak pada kerawanan pangan dan gizi. Anak yang tidak mendapatkan asupan pangan dan gizi dengan baik akan berpengaruh pada peningkatan angka stunting.
“Sebagai contoh, dampak kekeringan di NTT berdampak pada kerawanan pangan yang kemudian menyebabkan angka stunting di NTT sangat tinggi,” ungkap Woro.
Selain kerawanan pangan, masalah kekurangan air juga menjadi perhatian dalam seminar ini. Anak-anak yang berada di daerah ikut mengambil air dari sumber setiap hari, sehingga berpengaruh pada kegiatan belajar mengajar dan kualitas hidup mereka menjadi terganggu.
“Jadi ini sebenarnya masalah studi yang ingin memantik semua pihak untuk berpikir dari sudut pandang anak, ketika berbicara mengenai perubahan iklim,” tutup Woro.(HFAN/Arum)